Kampung Pancasila Surabaya vs Kampung Madani Batam, Dua Jalan Pariwisata Berbasis Kampung Tua

Screenshot

SURABAYA – Ada yang menarik dari kunjungan rombongan Gerakan Masyarakat Madani (GMM) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam ke Gedung Siola, Surabaya, Rabu (10/9).

Rombongan yang dipimpin oleh Tengku Zulkifli Aka dan Raja Muhsin itu datang bersilaturahmi ke Kantor Dinas Kebudayaan, Kepemudaan & Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya setelah melihat wajah Kampung Tua Peneleh yang bersejarah.

Mereka sedang mengintip masa depan Batam melalui lensa pengalaman Surabaya, bagaimana sebuah kota bisa menghidupkan kembali denyut pariwisata berbasis kampung tua dan partisipasi warga.

Raja Muhsin, tokoh pariwisata yang juga mantan Kepala Dinas Pariwisata Batam, mengakui secara jujur bahwa Batam sudah terbukti tangguh dalam menarik wisatawan mancanegara. “Tapi untuk pariwisata domestik, Batam memang harus banyak belajar ke daerah lain, dalam hal ini Surabaya,” katanya.

Sejak dihantam pandemi COVID-19, Surabaya memilih jalan tidak biasa, yakni membangkitkan kembali pariwisata dengan menyalakan lilin-lilin kecil di kampung-kampung. Dari sinilah lahir program Kampung Pancasila sebagai wadah kolaborasi masyarakat, pemerintah, akademisi, dan komunitas seni.

Menurut Annisa, Ketua Tim Kerja Dinas Kebudayaan, Kepemudaan & Olahraga serta Pariwisata Surabaya, kunci keberhasilan terletak pada komitmen wali kota. Dari kantor balai kota, instruksi mengalir hingga ke tingkat RT. Satu ASN ditempatkan khusus di tiap RT untuk mendampingi kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Di setiap kampung, dibentuk empat satgas: kebudayaan, ekonomi, kemasyarakatan, dan lingkungan.

Hasilnya, geliat ekonomi UMKM di jalan-jalan kota mulai bangkit. Jalan Tunjungan, misalnya, berubah menjadi etalase kuliner dan kerajinan lokal. Sementara itu, kawasan heritage Peneleh dikembangkan dengan pendekatan berbeda, murni berbasis pemberdayaan masyarakat. Proposal warga bahkan berhasil menggaet dukungan Bank Indonesia senilai Rp200 juta.

“Kami melibatkan semuanya, komunitas sejarah, pelaku usaha, budayawan, sampai akademisi. Pemerintah kota hanya menjadi katalis. Warga yang menjadi tuan rumah, sekaligus pelaku utama,” jelas Annisa.

Di Batam, ide Kampung Madani masih berupa konsep yang sedang didalami. GMM bersama Disbudpar Batam berusaha menimba pelajaran langsung dari Surabaya. Sebelum mengunjungi Kampung Heritage Peneleh, rombongan lebih dulu belajar ke Kampung Heritage Kayutangan, Malang. Model yang ingin dibangun adalah destinasi wisata kampung tua berbasis masyarakat dengan sentuhan nilai-nilai keislaman dan budaya Melayu.

Namun tantangan Batam berbeda. Kota ini selama bertahun-tahun lebih dikenal sebagai destinasi belanja, hiburan, dan wisata mancanegara. Pariwisata berbasis komunitas belum menemukan pijakan kuat. Bahkan, sektor domestik kerap tertinggal dari kota lain yang gencar menggarap wisata sejarah dan heritage.

Karena itu, kata Sekretaris GMM Syamsul Ibrahim, kunjungan ke Surabaya dianggap sebagai titik tolak. “Kami ingin melihat bagaimana Surabaya membangun dari kampung. Bagaimana menggerakkan warga, komunitas, dan UKM agar pariwisata tidak hanya milik pelaku besar, tapi juga tumbuh dari bawah,” tutur Syamsul.

Membandingkan Dua Jalan

Perbandingan Surabaya dan Batam menunjukkan dua lanskap berbeda. Pertama, komitmen politik. Surabaya menaruh peran besar pada wali kota sebagai motor kebijakan. Batam masih menunggu arah kuat dari pucuk kepemimpinan, yang belakangan selalu mendorong GMM untuk memulai observasi awal.

Kedua, keterlibatan warga. Annisa menambahkan, Surabaya berhasil menstrukturkan partisipasi warga melalui satgas dan Pokdarwis. Sementara Batam, kata Raja Muhsin, baru akan memulai dengan embrio GMM dan komunitas lokal.

Pendanaan menjadi komparasi berikutnya. Surabaya kreatif menggandeng pihak ketiga seperti BI. Batam perlu menyiapkan skema pendanaan berlapis, tidak hanya bergantung APBD.

Menurut Raja Muhsin, hal lainnya yang layak menjadi studi komparasi adalah orientasi. Malang dan Surabaya memilih pemberdayaan, meski tanpa target PAD langsung. Batam masih akan menimbang-nimbang bagaimana mengawinkan target ekonomi dengan misi kultural.

“Semoga dengan tekad Wali Kota Amsakar Achmad yang memiliki visi kuat Batam Bandar Dunia Madani, semakin lapang jalan ke depannya,” harap Muhsin.

Pertemuan di Gedung Siola itu ibarat kaca pembesar, memperlihatkan bahwa pariwisata berbasis warga tidak lahir instan, tapi harus ditopang visi politik, kesabaran, dan konsistensi.

Surabaya sudah menempuhnya. Batam sedang bersiap. Pertanyaannya: apakah Kampung Madani bisa menjadi wajah baru Batam yang tidak hanya dilirik turis mancanegara, tetapi juga mengakar di hati warganya sendiri? (ramon damora)

Exit mobile version